Sabtu, 30 Mei 2015



Sejarah Permainan Tradisional Jamuran


Belakangan ini jarang dijumpai sekelompok bocah memainkan permainan tradisional. Permainan tradisional tak lagi mendapatkan tempat, tergeser oleh permainan modern yang berasas pada teknologi, tak memerlukan ruang terbuka bebas, dan tak membutuhkan banyak olah tubuh.

Sebagai bangsa yang memiliki kekayaaan budaya yang adi luhung, sangat disayangkan bila kekayaan itu hilang. Munculnya komunitas yang menggiatkan kembali permainan tradisonal adalah secercah harapan membangkitkan rasa Indonesia. Salah satu permainan yang mencitrakan keaslian Indonesia adalah Jamuran.

Masih merasa asing dengan dolanan tradisional jamuran?

Jamuran dikreasikan oleh seorang ahli pendidik yang berjiwa demokratis yaitu Sunan Giri (salah satu Wali Songo). Beliau mendidik dengan jalan yang melalui bermacam-macam permainan, salah satunya Jamuran. Permainan ‘jamuran’ biasanya dimainkan pada malam-malam terang bulan, oleh anak-anak perempuan usia sekolah dasar; adakalanya anak-anak laki-laki juga ikut bermain. Jumlah anak untuk memainkan permainan ini, kira-kira 10 orang atau lebih. Karena banyaknya anak yang ikut bermain, terlebih lagi karena permainan ini dijalankan dengan banyak berlari-larian, maka diperlukan halaman yang cukup luas untuk memainkannya. Orang Jawa menyebutnya Plataran.

Permainannya sangat sederhana. Anak-anak berdiri membentuk lingkaran dan berpegangan tangan. Besar kecil lingkaran tergantung kepada banyak sedikitnya anak-anak yang bermain. Jika jumlah anak yang bermain banyak, lingkaran itu besar, sebaliknya kalau anak-anak yang bermain sedikit, lingkaran kecil. Seorang anak berdiri di tengah-tengah lingkaran itu. Permainan ‘jamuran’ dimulai dengan anak-anak berdiri membentuk lingkaran bernyanyi:
Jamuran, yo ge gethok,
Jamur opo, yo ge gethok,
Jamur payung, ngrembuyung koyo lembayung
Siro badhe jamur opo?”
begitu kira-kira syairnya.

Tiba pada kalimat ‘siro badhe jamur opo?’, si anak yang berada di tengah lingkaran lantas berteriak menyebut sebuah gerakan pura-pura yang wajib kami perbuat. Anak-anak lain yang semula bergandengan tangan membentuk lingkaran, kontan berhamburan. Untuk menirukan seperti apa yang di ucapkan si anak yang kalah tadi. Misal seperti ini...

‘Jamur motor!’

Ketika di ucapkan ‘jamur motor!’, anak-anak yang berhamburan untuk berubah menjadi berbagai kendaraan beroda. Ada yang menjadi mobil polisi. Ada yang menjadi dokar. Ada yang menjadi sepeda motor. Ada yang menjadi kereta. Masing-masing kami bergumam menirukan suara tiap-tiapnya sembari berjalan mondar-mandir. Hingga terdengar lagi sebuah suara.

‘Jamur patung!’

Lantas anak-anak bergegas menjadi patung. Diam tak bergerak. Tidak boleh tersenyum. Tidak boleh tertawa. Meski digoda. Meski diajak berbicara. Bagi anak yang tertawa, tersenyum, atau yang bergerak akan terkena hukuman yaitu ia harus menggantikan posisi anak yang kalah tadi. Bila sudah ada yang terkena, kami lantas bermain lagi dari mula. Bila sudah ada terhukum, kami yang terbebas bisa lega tersenyum. Yang kena hukuman, masuk ke dalam lingkaran. Yang lainnya, bergandengan tangan melingkar dan mulai menembang. Jamuran... jamuran... yo ge ge thok...
Tiba pada kalimat ‘siro badhe jamur opo?’ (intinya permainan dimulai seperti awal tadi).

‘Jamur monyet!’

Anak-anak segera melepas tautan tangan. Semua berhamburan. Macam-macam gerakannya. Ada yang dengan segera memanjat pohon. Ada yang hanya menggaruk-garuk kepala. Ada yang sesekali meloncat-loncat. Ada yang seketika duduk dan berpura-pura seperti sedang mencari kutu pada kepala temannya. Anak-anak pun banyak yang tertawa terpingkal karenanya.

‘Jamur let uwong!’

Anak yang membentuk lingkaran bubar lalu mencari pasangan untuk diajak bergandengan. Yang tidak mendapat pasangan, harus ‘jadi’ atau mendapat hukuman berdiri di tengah lingkaran.


‘Jamur kendil borot!’

Anak-anak mencari tempat yang agak tersembunyi untuk buang hajat kecil, karena kendilnya borot (pancinya bocor). Kendil yang tidak bocor dianggap tidak berguna. Walhasil anak yang tidak buang hajat kecil dianggap sebagai kendil tidak bocor dan harus ‘jadi’. Kadang, pada jamur kendil borot dijumpai sedikit kecurangan karena membawa air dalam plastik dan hanya berpura-pura buang hajat kecil. Atau ‘sedikit’ bohong dengan mengaku sudah buang hajat kecil saat anak yang ‘jadi’ sedang memeriksa kebocoran anak lain. Pemeriksaan Kendil borot hanya dilakukan dengan melihat bekas air.

‘Jamur gagak!’

Anak-anak berlari sambil merentangkan tangan, menirukan kepakan sayap burung gagak sambil menirukan bunyinya gaok gaok. Tugas anak yang ‘jadi’ adalah menangkap ‘burung gagak’. Dan kawanan burung gagak harus menghindarinya agar jangan mendapat hukuman. Cara menghindari pengejaran mudah saja yaitu dengan berjongkok sebagai pengibaratan burung yang sedang hinggap. Jika mendapati anak jongkok, maka pengejaran dihentikan. Atau jika mau, menunggu agar anak yang berjongkok itu lari lagi lalu dikejar. Jika ada anak yang tertangkap ketika masih berlari, maka berlakulah hukuman.
‘Jamur parut!’

Anak-anak yang membentuk lingkaran bubar menjauhi anak yang berada di tengah. Mereka mencari tempat untuk berdiri dengan berpegangan tangan pada sebatang pohon tiang, atau bersandar pada tembok lalu menggantung sebelah kakinya. Telapak kaki harus nampak agar mudah digelitik. Anak yang tadi berdiri di tengah lalu menghampiri salah seorang anak yang menggantungkan kakinya sebelah, lalu menggelitik telapak kakinya yang digantung. Anak yang digaruk harus menahan diri agar jangan sampai tertawa, agar tidak mendapat hukuman. Untuk memancing agar anak yang digaruk tertawa, anak yang menggaruk boleh menggodanya dengan memperlihatkan gerak-gerik yang lucu atau menggodanya dengan kata-kata yang jenaka. Jika cara-cara demikian tidak dapat membuat anak itu tertawa, maka ia menghampiri anak-anak yang lain dan diperlakukan demikian pula. Jika anak lain tetap tidak tertawa maka hukuman tetap pada dirinya, mengulangi berdiri di tengah-tengah lingkaran.

Demikian permainan itu dilangsungkan dan diulang-ulang berkali-kali dari permulaan, dan setiap kali disebutkan nama jamur yang berlainan oleh anak yang ‘jadi’. Sederhana, riang, murah, dan mendidik. Keunggulan yang diusung karena permainan ini memberikan kemungkinan kepada anak-anak untuk membeberkan kekayaan fantasi dan rasa humor dengan menyebutkan beraneka macam jamur yang kadang-kadang ‘ajaib’. Jamuran tergolong unik. Satu hal yang mungkin tidak terlintas saat permainan sederhana ini dikreasikan yakni mendorong anak untuk bisa mengembangkan kecerdasan majemuk, yakni ketrampilan gerak, kepekaan, dan kemampuan berekspresi dengan irama, kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri serta kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan. Lewat dolanan jamuran kita bisa melihat sebentuk kekayaaan budaya Indonesia yang bukan hanya sebagai media hiburan, namun sebagai penghargaan atas tradisi yang merupakan ‘akar’ atau cikal bakal beradaban dan tentu saja tidak dimiliki oleh bangsa lain. Karena terus terang, hanya Indonesia yang memiliki dolanan tradisional yang beragam, salah satunya: Jamuran.

Nilai-nilai Pendidikan

Nilai pendidikan dalam lagu ini adalah ketika anak melakukan permainan. Mereka akan melantunkan dengan kompak dan menaati peraturan apapun yang diminta oleh pemain dadi. Pada lirik lagu Semprat-semprit jamur opo, pemain dadi meminta kepada pemain lain untuk menjadi jamur apa yang dia mau, maka pemain lain harus mematuhi apa yang dikehendaki pemain dadi. Hal ini mengajarkan pada anak-anak bahwa hidup ini penuh dengan aturan. Maka segala aturan harus ditaati sesuai dengan peraturan. Karakter yang dapat ditanamkan dalam lirik lagu ini adalah kedisiplinan dalam mematuhi segala aturan yang berlaku di kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar